Mengenang Soe Hok Gie: The Angry Young Man Yang Mati Muda

Luthfi.A.F
6 min readDec 13, 2020

--

Soe Hok Gie Akhir 1960an

Mengenal Soe Hok Gie, sama halnya mengenal humanitas dan Idealisme berpikir. Gagasan ‐ gagasan & ide Gie yang kritis merupakan cerminan dari sifatnya yang peka terhadap lingkungan sosial-politik Indonesia. Namun sayang, sang demonstran brilian ini harus merenggut nyawa di puncak tertinggi jawa.

Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta, Anak keempat dari lima bersaudara di keluarganya; kakaknya Soe Hok Djin (yang berganti nama menjadi Arief Budiman) merupakan seorang sosiolog & dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, juga cukup vokal dalam politik Indonesia.

Gie kecil merupakan penggila buku, ia sering mengunjungi perpustakaan umum & taman bacaan di pinggir Kota Jakarta bersama kakaknya. Ini tak heran, karna Gie tumbuh dari keluarga penulis yang membuat gie akrab dengan sastra. Bahkan saat di bangku SD Gie sudah membaca karya - karya sastra serius, seperti Pramoedya Ananta Toer.

Beranjak Dewasa Gie melanjutkan SMA di Kolase Kanisus Jakarta. Selama di SMA minat Gie terhadap ilmu sastra semakin mendalam, serta ia mulai tertarik pada ilmu sejarah.

Di titik ini kesadaran politiknya mulai bangkit, ini yang membuat catatan dan tulisan gie tajam & penuh kritik. Dalam catatan harian bertanggal 10 Desember 1959, Gie mengisahkan pertemuannya dengan dengan seorang pengemis:

Siang tadi aku bertemu dengan seorang tengah memakan kulit mangga…Dua kilometer dari sini ‘paduka’ (presiden Soekarno) kita mungkin sedang tertawa dan makan- makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik

Remaja yang baru duduk di bangku SMA itu menyimpulkan “Generasiku ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, yaitu koruptor‐koruptor tua seperti Iskak, Djodi,Djafar, dan Ibnu Sutowo”

Setelah lulus SMA, Gie melanjutkan pendidikanya di Universitas indonesia (UI) Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah. Pada saat menjadi mahasiswa, Gie menjadi seorang aktivis kemahasiswaan.

Di samping menjadi aktivis, Gie menekuni hobinya yaitu menulis. kata‐kata Gie yang tajam dan penuh kritik membuat ia menjadi penulis yang produktif dan sering menjadi staf redaksi media cetak. Tulisan-tulisan Gie banyak di muat di beberapa media cetak massa seperti Kompas, Sinar Harapan, Indonesia Raya, dan Mahasiswa Indonesia.

Situasi politik - ekonomi Indonesia pasca Gerakan 30 September 1965 semakin tidak menentu & kacau. Inflasi, korupsi, kesenjangan, dan masuknya pengaruh komunisme di tubuh pemerintah adalah masalah saat itu.

Akibatnya terjadi demonstrasi besar-besaran di Jakarta yang di gaungkan oleh mahasiswa & pelajar, untuk memenuhi tuntutan mereka yaitu:

  1. Turunkan harga
  2. Bubarkan PKI
  3. Retoll kabinet Dwikora

Tiga tuntutan ini kemudian hari dikenal dengan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat).

Demonstrasi 1966 (TRITURA)

Ketegangan politik menjalar ke kampus UI. Atas dukungan wakil ketua DPR-GR Sjarif Thaje, organisasi-organisasi mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Unjuk rasa mahasiswa menyuarakan Tritura terjadi dimana-mana. Hingga suatu saat pada 11 januari 1966, Gie memimpin salah satu demontrasi mahasiswa yang bergerak dari kampus Universitas Indonesia di Salemba ke kampus Rawamangun.

Sebagai demonstran yang militan, Gie dikenal tak kenal takut. Sebagaimana diceritakan oleh Herman O Lantang (sahabat gie & Mantan ketua senat UI) dalam wawancara melawan lupa Metro TV ,“kalo misalnya ada tank ingin membubarkan kita, dia tidur dibawah tank, Ga berani dong lewat. Dia ngga menonjol tapi nyentrik.”

Walaupun ikut berdemonstrasi dengan KAMI, Gie bukan anggota KAMI. Ia tidak menyukai organisasi massa di luar kampus. menurutnya “Mahasiswa tidak seharusnya berpolitik praktis.”

Hingga akhirnya jatuhlah rezim orde lama ke orde baru yang ditandai terbitnya SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) pergantian rezim ini ditandai dengan pembantaian orang‐orang yang dituduh anggota PKI di Bali & Purwodadi, Jawa Tengah.

Hok Gie mendatangi lokasi pembantaian di purwodadi & melaporkan secara detail peristiwa itu. Tulisan yang mengunakan nama samaran “Dewa” itu dimuat pertama kali di koran mahasiswa Indonesia edisi jawa barat pada Desember 1967. Ini tulisan pertama cendikiawan Indonesia tentang pembunuhan massal tersebut.

Tulisan Gie tersebut menguncang rezim & militer saat itu, akibatnya tekanan & ancaman pun harus dihadapinya. Bahkan redaktur Sinar Harapan yang menerbitkan tulisan gie di jakarta mendapat imbasnya. Aristides Kartopo teman Gie & ketua redaktur Sinar Harapan saat itu, mendapat Ancaman dari Intelijen tentara agar tidak menerbitkan tulisan gie. “Saya mendapat peringatan karena tulisannya mengguncang ABRI pada masa Orde Baru,” kata Aristides

Gelombang unjuk rasa mahasiswa, kudeta gagal 30 September, dan krisis ekonomi yang membuat harga pokok melambung menjadi badai yang akhirnya menumbangkan Presiden Sukarno. Para eksponen gerakan mahasiswa yang dekat dengan kelompok militer selama periode aksi-aksi itu, merapat ke kekuasaan dan mendapat berbagai jabatan di parlemen.

Tapi Gie memilih jalan sunyi “Dia ditawarin presiden jadi kepala Museum Monumen Nasional ” kata Rudy Badil, rekannya sesama pendaki. Gie menolaknya.

Sikap Gie ini tercermin dari catatan hariannya, 13 januari 1966 yang berkata:

perjuangan mahasiswa bukan sekedar menurunkan harga bensin, tapi juga menegakan keadilan & kejujuran. Jika mahasiswa mundur dalam pergulatan sekarang, maka akan kalah untuk selama-lamanya.

Akibat jenuhnya aktivitas perpolitikan yang gencar masuk kampus, Soe Hok Gie dan kawan‐kawan mendirikan MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam) di UI pada 12 desember 1964 yang kegiatan rutinya adalah naik gunung.

“Bagi Gie Gunung bukan sekedar pelepas stress. Tapi, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian & keteguhan hati seseorang. Di tempat yang jauh dari semua fasilitas & penuh kesulitan orang yang mengalami ujian, apakah dia selfish (yang hanya pikirkan dirinya sendiri) atau orang yang mau memikirkan orang lain” tulis stanley dalam penutup buku kumpulan tulisan soe hok gie, zaman peralihan

Sebagai anggota Mapala, Gie memiliki nomor keanggotaan. Hok gie kebagian nomor 007 menurut Herman Lantang, sahabat Gie. Nomor itu bukan Gie yang pilih, kebetulan saja.

Gie & rekan - rekannya di Mapala sudah banyak menjajaki gunung-gunung di Jawa, Gie pernah naik Gunung Pangrango (3.019 mdpl) dan Gunung Gede(2.958 mdpl) di Jawa Barat, Gunung Slamet (3.428 mdpl) di Jawa Tengah, dan Gunung Semeru (3.676 mdpl) di Jawa Timur.

Di gunung terakhir itulah Gie menghirup gas beracun dan tutup usia pada tanggal 16 Desember 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 tahun. Gie bersama Idhan Lubis meninggal dalam pelukan Herman Lantang di puncak Semeru.

Meski Hok Gie meninggal di usia muda, ia telah memberikan pesan bagaimana seseorang dapat bersikap konsisten di tengah lingkungan yang pragmatis. Bahkan sebelum berangkat ke Gunung Semeru, Soe Hok Gie mengirimkan seperangkat alat bedak & lipstik kepada teman‐teman kampusnya yang sudah duduk di Parlemen. Itu sebagai sindiran agar teman‐teman aktivis mereka “tampak cantik” di mata pemerintah.

Daftar pustaka

  • Serial Buku Tempo: GIE DAN SURAT-SURAT YANG TERSEMBUNYI
  • Rudy Badil, Luki Sutrisno, dan Nessy Luntungan dalam Soe Hok Gie Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya (2009)
  • Profil - Soe Hok Gie - merdeka.com
  • Soe Hok Gie - wikipedia.com
  • Mati Muda Soe Hok Gie di Tanah Tertinggi Pulau Jawa - Tirto.id
  • Melawan Lupa - Menjadi Indonesia seperti Soe Hok Gie (metro TV)

--

--